Prinsip Kehati-hatian Pembiayaan Kendaraan Bermotor Bank Syariah
Bank Syariah merupakan sarana dalam melakukan
transaksi perbankan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Syariat Islam. Menurut
kententuan Pasal 1 angka (7) Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang dimaksud Bank Syariah adalah :
“Bank Syariah adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Keberadaan Bank Syariah ini secara langsung diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Oleh karena itu, peranan Bank Syariah menjadi sangat dibutuhkan dalam berbagai
aspek perbankan yang sebelumnya telah di akomodasi oleh Bank Konvensional.
Bank Syariah sebagaimana Bank Konvensional juga
melakukan kegiatan sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 1 angka (2)
Undang_undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu :
“Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.”
Dalam perananya menyalurkan dana kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya tersebut pada perkembangannya
adalah mengikuti kebutuhan masyarakat. Adapun kebutuhan masyarakat yang
sekarang ini populer adalah pembiayaan kendaraan bermotor baik kendaraan
bermotor roda dua (sepeda motor) maupun roda empat (mobil).
Pembiayaan kendaraan bermotor berjalan paralel dengan
kebutuhan akan kendaraan bermotor tersebut. Pada masa sekarang kini, kendaraan
bermotor semakin diminati dan meningkat jumlahnya. Hal ini nampak
dari kepadatan lalu lintas jalan dengan jumlah kendaraan yang semakin meningkat
dari tahun ketahun. Masyarakat pengguna
kendaraan bermotor semakin bertambah dan untuk mendapatkannya pun tidak serta merta melalui
pembelian dengan uang tunai. Untuk menjaga cash
flow nya, kebanyakan masyarakat memilih fasilitas pembiayaan yang salah
satunya ditawarkan oleh bank. Bank Syariah dalam hal ini mengakomodasi
kebutuhan tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka (25)
Undang_undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu :
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah
dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah
atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS
dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas
dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Berdsarkan ketentuan tersebut dalam kegiatan pembiayaan
kendaraan bermotor, transaksi pembiayaan yang digunakan adalah sebagaimana
tertuang dalam huruf b yaitu transaksi
sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
Fasilitas Pembiayaan oleh Bank Syariah ini dilakukan
melalui transaksi sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik. Sebagaimana halnya Bank Konvensional, Bank Syariah dalam
memberikan fasilitas pembiayaan tersebut juga tidak terlepas dari prinsip
kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu :
“Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan
prinsip kehati-hatian”
Jadi, prinsip kehati-hatian wajib dan harus dipenuhi
oleh Bank Syariah sebelum ia menggelontorkan dana dalam melakukan transaksi pembiayaan
kendaraan bermotor dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik.
Prinsip kehati-hatian diatur dalam pasal 35, 36 dan 37
Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada
pelaksanaanya, prinsip kehati-hatian harus memenuhi ketentuan undang-undang
tersebut dan dilakukan melalui penilaian calon penerima fasilitas pembiayaan dengan
prinsip 5C (character, capacity, capital,
collateral and condition). Kemudian, dianalisis juga berdasarkan asas 7P (personality, party, purpose, prospect,
payment, profitability, protection). Apabila penilaian melalui analisis 5C
dan 7P tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Permasalahan
yang timbul adalah fasilitas pembiayaan tersebut akan sampai pada orang atau
badan yang tidak tepat, sehingga akan menjadi kredit bermasalah.
Berdasarkan uraian tersebut, ada ketertarikan untuk
menyikapi dan peluang meneliti tentang kredit bermasalah pada bank syariah yang
timbul karena tidak terpenuhinya prinsip kehati-hatian dalam lingkup 5C dan 7P.
Secara gamblang dapat dilihat bagaimana Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam
Transaksi Pembiayaan Kendaraan Bermotor pada Bank Syariah.
Untuk melihat bagaimana Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Transaksi Pembiayaan Kendaraan
Bermotor pada Bank Syariah, dapat ditarik suatu permasalahan yang menjadi
acuan untuk mengetahuinya yaitu :
- Bagaimana pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam transaksi pembiayaan kendaraan bermotor yang berbentuk ijarah muntahiya bittamlik pada Bank Syariah?
- Apakah faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam transaksi pembiayaan kendaraan bermotor yang berbentuk ijarah muntahiya bittamlik pada Bank Syariah?
Demikianlah
bahasan singkat kali ini tentang fenomena dalam ranah Perbankan Syariah. Sejatinya
artikel kali ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi untuk melakukan
suatu penulisan atau penelitian ilmiah. Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar